Sundanese , Javanise, indonesianis

Siduru dotkom

Rabu, 30 Mei 2012

Syekh Siti Jenar 123

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 123

Oleh Herdi Pamungkas
“Saya tidak paham apa yang andika katakan?” gelengkan kepala.
Ki Chantulo belumlah kembali berujar, kepalanya menunduk,lalu mendongak
pelan. Batinnya, mungkinkah orang yang baru saja percaya akan adanya
Tuhan bisa memahami ilmu yang bertingkat tentang hakikat? Sementara
mengenal juga baru akan?
“Mengapa andika diam?” liriknya.
“Nanti kita lanjutkan,” langkahnya mendahului. “Lagian kita sudah memasuki Perkampungan Pengging. Tidakkah andika merasa lapar dan dahaga?”
“Tentu saja.”
Mereka memasuki pekarangan gubuk yang berukuran tujuh belas tombak persegi. Para petani yang telah berpakaian bersih berdatangan dan menghamparkan tikar pandan. Ki Donoboyo menuju pancuran air bambu di selatan pekarangan, dibelakangnya Ki Chantulo mengiringi. Lelaki gempal kebingungan setelah menambatkan pedati di luar halaman.
“Apa yang akan mereka lakukan?” liriknya.
“Mereka akan melakukan salat Magrib berjamaah.” terang Kebo Kenongo yang
masih berdiri disampingnya.
“Salat?” dahinya berkerut-kerut.
“Syariat Islam yang hukumnya wajib bagi penganutnya. Apakah andika mau
bersama-sama mendirikannya?”
“Tidak.” dahinya semakin berkerut. “Belum mengerti, jika Ki Ageng ingin silahkan! Saya sebaiknya menunggu di sini.” lalu menepi, duduk di atas batu.
Kebo Kenongo, berlalu dari hadapannya. Mengambil air wudu seusai kedua teman sepergurunnya. Tidak lama berselang azan Magrib dikumandangkan, membelah bayang-bayang jingga keemasan di langit barat perkampungan Pengging.
Lelaki bertubuh gempal tidak melepas tatapannya, batinnya tidak henti bicara tatkala menyaksikan perilaku Kebo Kenongo beserta para penduduk  Pengging. Hingga selesai.
“Ki Ageng Pengging ternyata masih memiliki pengikut setia yang jumlahnya tidak sedikit. Mereka masyarakat miskin, petani sederhana. Mengapa tidak tertarik akan tahta juga harta? Sungguh aneh sosok ini? Meninggalkan Istana Kadipaten hanya karena ingin berbaur dengan para petani miskin. Rasanya tidak mungkin berbuat seperti ini jika tanpa tujuan?” gumamnya.  “Mereka juga begitu patuh, bahkan mengikuti setiap gerakan Ki Ageng.  Meskipun Ki Ageng harus menungging mencium tanah. Aneh?”
Usai salat Magrib Ki Chantulo yang berada di shaf terdepan berbisik pada Kebo Kenongo selaku imam.
“Haruskah saya menjawabnya?”
“Belumlah saatnya.”
“Bukankah Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu tidak pernah mengenal tahapan?”
bersambung…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SiDuru DotKom - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger