Sundanese , Javanise, indonesianis

Siduru dotkom

Rabu, 30 Mei 2012

Syekh Siti Jenar 121

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 121

Oleh Herdi Pamungkas
“Selamat datang, Ki Lontang.” tatapnya menyejukan. “Tidak juga, malah kisanak yang tidak pernah berubah selalu ingin mendalami bhatin orang lain. Tampaknya kisanak dalam keadaan marah memasuki Pengging?”
“Ki Ageng, bisa menembus bhatin saya. Kenapa saya tidak?” gelengkan kepala. “Saya selalu berada dibawah Ki Ageng.”
“Siapa dia Ki Ageng?” tatap lelaki bertubuh gempal.
“Ki Lontang teman seperguruan kami.”
“Saya kira bhatin Ki Ageng telah maphum. Datangnya saya ke Pengging tentu saja dalam keadaan marah dan berapi-api, mengapa tidak? Saya mendengar kabar Syekh Siti Jenar akan ditangkap orang-orang Demak Bintoro, utusan Raden Patah. Sudah selayaknya saya sebagai muridnya marah besar!” geramnya.
“Bukankah baru akan?”
“Ya,” tangan bergetar, mata menyala. “Mereka tidak menghargai guru menginjak-nginjak martabat sesama. Tidakah mereka ingin saya lumat dengan pukulan gelap Ngampar!” kepalan tangannya diayunkan ke arah batu seukuran anak kerbau yang bertengger di tepi jalan.
Terlontar bola api disusul suara ledakan dahsyat yang meluluhlantakan menjadi kepulan debu, tertiup angin. Lelaki bertubuh gempal tidak berkedip, mulut melongo, tubuh menggigil. Berbeda dengan para murid Syekh Siti Jenar lainnya tidak terusik.
“Haruskah mereka saya lumat laksana debu?”
“Apakah pertanyaan itu untuk saya ataukah untuk Ki Lontang sendiri?”
“Ki Ageng, mengapa melempar pertanyaan demikian?”
“Bukankah setiap orang bertanya membutuhkan jawaban?”
“Tentu saja,” dahinya berkerut tiga. “Pertanyaan itu saya tujukan pada Ki Ageng dan rekan seperguruan.”
“Jika itu tertuju pada saya, maka saya tidak akan bersikap seperti Ki Lontang.”
“Tidak melakukan pencegahan dan perlawanan?”
“Tentu saja,”
“Bukankah beliau guru kita. Sudah selayaknya menuntut bela dan melakukan perlawanan.”
“Itu yang saya maksud pertanyaan tadi. Saya sudah menjawab, berikutnya Ki Lontang sendiri yang menjawab.”
“Ki Ageng?” dahi berkerut tiga dipijit-pijitnya. Mulai larut pikirannya dalam setiap ucapan Kebo Kenongo.
Semuanya belumlah beranjak beberapa tombak dari muka gapura perkampungan Pengging. Kebo Kenongo menghargai perjalan pikiran Ki Lontang yang mencari ujung penyelesaian, Ki Donoboyo, dan Ki Chantulo sebatas menghormati. Hanya lelaki bertubuh gempal yang tidak terlalu paham perilaku mereka.
“Jadi Ki Ageng tidak akan datang ke Khendarsawa untuk melakukan pembelaan terhadap guru, serta melumat para utusan Demak termasuk di dalamnya anggota wali songo?”
“Tidakah Ki Lontang memahami bhatin guru?”
“Maksud, Ki Ageng?”
“Bukankah guru itu manunggaling kawula gusti?”
“Ya,”
“Jika Ki Lontang mendalami itu saya rasa maphum?”
bersambung….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SiDuru DotKom - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger